Rabu, 18 Agustus 2010

Man Jadda Wa Jada

Diriku terkulai di atas ranjang. Tubuhku terasa panas dan lemah seakan tak bertenaga. Pandangan mataku pun menjadi kabur. Tiba-tiba aku mendengar suara dari arah luar kamar, dokter yang memeriksaku tadi berbincang-bincang dengan orang yang mengantarkan aku ke rumah sakit tadi pagi.

"Dia sakitnya sangat kritis, darahnya banyak yang teracuni, dan yang bersih tinggal sedikit, karena itu mau tak mau harus tinggal disini untuk dirawat.” Air bening di mataku meleleh dan diriku merasa ketakutan. Ya Allah, izinkan hamba menikmati udara gratis lagi untuk beberapa tahun, masih banyak utangku pada orang tuaku (Aku bayangkan wajah ibu saat dia kecapekan kerja, juga wajah bapak yang leleh pulang dari sawah). Jika saya dirawat di sini apakah uangku nanti cukup, juga tak ada saudara yang dekat dengan saya. Perasaan takut akan mati, juga tentang biaya rumah sakit yang membuatku tambah lemas. Air mata terus mengalir di atas bantal dengan tiada hentinya. Baru saja ku ingin mendaki gunung, sudah ada batu cobaan yang menyandung dan menghadang. Aku hanya bisa berusaha semampuku dan berdoa, kuserahkan semua kepada Yang Maha Kuasa.

Beberapa menit kemudian, dokter memindahkanku ketempat yang khusus dihuni orang-orang sepertiku. Di tempat itu terlihat kosong. Hanya diriku saja yang menghuninya, karena dokter bilang tempat yang khusus dihuni seperti penyakitku sudah tidak muat lagi. Namun tak lama kemudian ada pasien baru yang menemaniku. Dia ditempatkan didekat ranjangku, tapi sakit dia tak separah sakitku.

Seorang perawat mendatangiku dan memberitahu tentang peraturan-peraturan di rumah sakit, juga apa-apa yang harus kulakukan. Dia juga menyarankankan kepadaku jika ingin cepat sembuh harus menuruti pesan-pesannya. Karena yang sangat diperlukan untuk menyembuhkan penyakitku itu membersihkan racun di peredaran darahku, maka dia menyarankan harus minum air putih minimal 5 liter sehari, ditambah air yang mengandung icon, juga makan yang teratur walau sakit atau tidak ada nafsu makan. Selain hal itu, tiap enam jam sekali dokter akan mengambil darah untuk pengecekan.

Semua pesannya aku patuhi, karena aku benar-benar ingin sembuh. Namun tiba-tiba aku berpikir siapa yang bisa membantuku memebelikan air sebanyak itu? Ternyata Tuhan Maha Pengasih, dia mengirimkan pertolongan kepadaku lewat seseorang yang berada disampingku. Dia tahu aku di Jakarta ini tiada saudara yang menemani maupun membantuku, karena itu dia menawarkan apa yang kiranya aku perlukan dia siap bantu.

Tetangga sebelahku bak malaikat, saat dia menjenguk anaknya, dia selalu duduk di tengah-tengah antara ranjangku dan anaknya. Dia selalu menghiburku dan memperlakukan aku seperti anaknya. Saat air persediaanku habis dia bantu membelikan, saat jam mengantar darah, diapun yang mengantar. Anak-anaknya yang lain pun sangat baik, saat dia datang bukannya menghibur adiknya, malah menghiburku.

Beginilah kebaikan Tuhan, disaat kita susah diapun memberi pertolongan yang tidak kita sangka. Maka aku takkan merasa lelah dan putus asa walau cobaan menghadang berkali-kali. Selain Maha Pemberi, Dia juga Maha Pengampun. Nyatanya saat aku minta umurku dipanjangkan, Dia pun memberikan waktu lagi untuk bertaubat dan mencari kebaikan lagi.

Jarum Jam menunjukkan angka sembilan. Terdengar dibalik jendela suara rintihan hujan, suasana kamar pun sangat sepi. Karena semua pasien tiada yang mendampingi seperti di siang hari. Kesunyian ini mengingatkan aku kepada ibuku. "Ibu, sedang apakah engkau disana? Maafkan aku bu, aku tidak memberitahu keadaanku saat ini. Aku tidak ingin engkau menghawatirkanku. Aku tidak ingin jika engkau tahu keadaanku seperti ini, engkau akan menyuruhku pulang. Apapun yang terjadi aku akan berusaha dengan sungguh-sungguh agar tercapai apa yang aku cita-citakan, yaitu membahagikanmu."

Dalam lamunanku malam ini, semua memori ingatan tentang ibu terputar perlahan-lahan. Sambil melamun kupandangi langit-langit kamar yang berwana putih tapi tidak terlalu terang. Karena keenakan melamun tak terasa ada seorang laki-laki mendekat di depan ranjangku. Setelah ku mengetahui hal itu, diriku pura-pura tidur takut kena marah, jam segini waktunya tidur. Pelan-pelan orang itu membaca biodataku, saat dia menemukan kata yang menurutnya aneh, dia ulangi dan dibaca rada keras. Ku dengar dia lagi baca alamat ku. “Hah, dari Tulung Agung, berarti tetanggaku dia. Jauh amat dia ke rumah sakit sini, lagi ngapain ni anak ke Jakarta? Setelah selesai membaca biodataku, dia memandangiku, saat itu juga dia melihat selimutku yang jatuh. Sambil membenahi selimutku dia berkata, “Duh kasihan ini tetanggaku…,” katanya. Setelah dia pergi, aku buka mataku dan berdoa kepada Tuhan karena mendatangkan orang yang baik lagi.

Malam telah hilang, pagi datang lagi. Kurapikan ranjang dan sekitarnya semapuku, aku ingin tetap bersih tempatku meski hanya dengan tangan satu. Walau mendapat perawatan, tubuhku masih terasa lemah, tanganku masih belum lepas dari infus yang menetes terus menerus. Pergelangan tanganku penuh lubang bekas suntikan pengambilan darah. Air mineral, air juice jambu juga air yang mengandung icon slalu menemani waktu-waktuku.

Sambil menunggu sarapan pagi datang, ku tak mau menyia-nyiakan waktu. Kubaca buku hafalanku. Dengan teliti satu persatu kuulangi menghafalkannya, buku itu kutaruh di pangkuanku, mulut komat kamit, mata kupejamkan guna menghafal tanpa melihat buku.

Tiba-tiba terdengar suara sepatu mendekatiku. Setelah kubuka seorang lelaki dan perempuan menyapaku. "Rajin amat kau Lia…, sakit-sakit masih nyempetin belajar, gimana, dah baikkan belum?" tanya pak Tomi, lelaki itu. Pak Tomi dan Mbak Fitri adalah orang kantor yang mengurusi keberangkatanku ke Hongkong. Alhamdulillah sudah mendingan, Pak,” jawabku.

Kemudian dia menanyaiku lagi, “Lia, keluargamu perlu dikasih tahu gak?” “Kalau biaya rumah sakit kurang iya, tapi kalau tidak kurang, mending jangan, takut ibu menghawatirkanku, juga takut disuruh pulang, karena dulu ibu tak merestui kepergian saya ini."

“Soal biaya kamu gak usah pikirkan Lia, kantor akan menanggung semua, yang penting kamu cepet sembuh. Kalau kau tidak ingin kasih kabar tentang ini pada keluargamu ya sudah, tidak akan saya kabari mereka,” kata pak Tomi. Saat asyik ngobrol sama mereka, sarapan pagi datang. Sebelum meraka pergi dia berpesan agar jaga diri juga makan yang banyak biar lekas sembuh.

Embun berkilau ditimpa cahaya matahari. Butirannya menggelinding dikelicinan dedaunan. Sebentar meluncur ke kanan, sesaat kemudian terlontar ke kiri. Terombang ambing riak air yang ditiup semilir angin pagi.

Putihnya bunga melati yang berdiri tegak di halaman rumah sakit, terlihat indah dan menarik. Terlihat dari kejauhan, segerombol kupu-kupu bersatu mendatanginya dan sepertinya mereka membisikkan kata, "selamat pagi wahai dunia".

Ku amati keindahan ciptaan Tuhan. Kuucapkan puji syukur karena telah diberi kesempatan lagi tuk nikmati semua yang dianugerahkanNya kepadaku.

Sudah empat hari diriku tinggal di RS Fatmawati. Banyak pelajaran tentang kesabaran, keikhlasan, juga pengalaman lain yang kupetik. Setahu saya, ikhlas adalah sifat atau perbuatan yang dilakukan semata-mata untuk mengharap ridha Allah. Sedangkan sabar adalah mendapat sesuatu yang tidak disenangi dengan jiwa yang lapang dan bukan kemarahan atau keluhan. Sifat sabar akan menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat. Jika dalam melaksanakan apapun dilakukan dengan ikhlas, maka kesuksesan akan kita raih. Contoh keihklasan yang kupetik di rumah sakit ini adalah, para dokter merawatku dengan ikhlas dan sabar. Akupun ikhlas dan sabar menerima perawatannya, yaitu menaati segala peraturannya. Hasilnya yang saya harapkan juga yang dokter harapkan agar aku cepat sembuh terlaksana.

Usai menikmati keindahan alam diluar, aku berdiri sambil memegang tongkat penyangga infusku. Kulihat di dalam kamar banyak orang yang menjenguk tetangga sebelahku. Segera kusapa mereka saat pandangan mataku menatap semua yang hadir. Anak laki-laki tetangga sebelah mendekati ranjangku setelah dia tahu aku kembali di tempat. Sambil senyum dia menanyaiku, "Dari mana anak kecil? Tak kira dah pulang kamu."

“Dari luar liat kupu-kupu,” jawabku. Tidak tahu kenapa orang ini tidak pergi-pergi setelah menanyaiku, malah mencandaiku terus. Karena aku merasa tidak enak pada ibunya, aku menyuruhnya menemani adiknya. Namun dia tidak mau, malah menjawab, "Udah ditemeni pacarnya adikku, juga temennya tuh banyak, izinkan aku disini menghiburmu untuk beberapa waktu. Kamu kan gak ada yang menemani,” ujarnya sembari tertawa renyah. Mendengar kata-katanya air mataku menetes lagi. Anak laki-laki itu tahu kebiasaanku, jika diperlakukan atau dibaiki orang pasti menagis diriku.

Ibu tetangga sebelah memanggil anak laki-lakinya. Bersamaan dia meninggalkanku ada seorang ibu berjilbab mendatangiku. Dan bertanya kepadaku, “Dik, agama apa yang kamu percayai sekarang? Aku menjawab, "Islam Bu". Dia bertanya lagi, "Shalatkah engkau?”. “Sholat, tapi saya bingung ngelakukannya saat saya sakit, juga takut gak sah shalat saya,” jawabku. Kemudian dia bertanya lagi, "Bingungnya dimana Dik?"

"Dokter menyuruh saya minum air banyak sekali setiap hari, setiap selesai minum pasti ke kamar mandi, karena sering ke kamar mandi, saya takut ada najis yang melekat di tubuhku. Selain itu tangan saya tidak boleh terkena air yang satu, gimana wudhunya?".

Dia menjelaskanku untuk mempermudah persoalanku. "Dik, Allah itu maha pengampun juga memaklumi umatnya yang tertimpa musibah, tapi yang namanya kewajiban tetap harus dilakukan bagaimanapun caranya. Contoh shalat itu, kalau gak bisa berdiri duduk, kalau gak bisa duduk berbaring, dengan gerakan tangan, kalau itu juga gak bisa dengan kedipan mata, kalau kedipan mata gak bisa juga orang itu pasti sudah mati. Jadi gak usah melakukan kewajiban. Begitu juga wudhu, kalau gak bisa dengan air, masih diberi kemudahan dengan tayamum. Jadi kesimpulannya Islam itu mudah, bukan paksaan, tapi jangan dibikin mudah sendiri dengan meninggalkan kewajiban yang diharuskan untuk melakukannya. Percayalah Allah akan memaafkan hal-hal yang kita tidak sengaja, jangan ragu melakukan kewajiban-kewajiban dalam kondisi yang tidak sempurna,” ujarnya. Banyak hal lain yang dia ajarkan kepadaku. Setelah aku jelas, dia pergi dan mendatangi pasien yang lain.

Tubuhku terasa lelah duduk terus, akhirnya kubaringkan di atas ranjang. Saat mata mau kupejamkan, seorang dokter menghampiriku, mengabariku kalau sore nanti aku diizinkan keluar. Aku bahagia mendengar kabar itu, kuucap terima kasih kepadanya. Diapun membalas ucapaku, dan berkata, "Engkaulah pasien yang rajin dan taat dalam mematuhi apa yang aku pesan, kalau sampai di Hongkong titip pesan ya dik? Salam buat Andy Lau,” candanya.

Sambil senyum ku jawab, Insya Allah Pak, kalau ketemu ya?”

“Hati-hati, dan makannya dijaga yang teratur,” saran dia. Aku menganggukkan kepala, berjanji.

Dokter pergi dari tempatku, dan memeriksa tetanggaku, dia pun memberitahu kalau aku akan keluar sore ini. Sang ibu dari anak itu memarahi anaknya, karena anaknya malas menaati pesan-pesan dokter. Jadi walaupun penyakitnya tidak seberapa parah, lama sembuhnya.

Kukemasi barang-barangku. Setelah selesai pamitan pada semua yang kukenal, terutama tetangga dekatku. Tak lupa kuucapkan terima kasih. Sedih juga meninggalkan mereka. Namun apa daya, waktu terbatas juga masih banyak tempat dan jalan yang harus kusinggahi dalam hidup ini.

Selamat tinggal Rumah Sakit Fatmawati. Semoga kebaikan-kebaikan yang kalian berikan kepadaku, Allah yang membalasnya. []

Jakarta, RS Fatmawati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar