Rabu, 18 Agustus 2010

Kenangan Semalam

Malam merambat petang, tengah malam sudah terlewati. Jendela-jendela tertutup, hanya beberapa kotak rumah yang masih memperlihatkan nyala lampunya. Mataku mulai redup setelah kerja seharian. Kayaknya hanya tinggal beberapa detik lagi bertahan. Segera aku bersimpuh mengadap Sang Maha Kuasa, membasahi sajadah kecil ini dengan tetes pengaduanku.

Hanya cahaya remang yang menerangi diantara gelapnya malam, sorotan lampu dari luar menerobos lewat celah jendela. Masih dalam balutan mukena, kulongokkan pandangan keluar. Dibalik jendela gerimis membasahi pohon-pohon juga jalan-jalan di seberang. Dalam kegelapan langit, masih kurasa suasana malam yang kurasa indah, di seberang sana Restoran diatas laut itu kelihatan megah. Lampu-lampu kecil memenuhi tubuhnya, yang menerangi tempat-tempat disekitarnya.

Hati terasa tenang memperhatikan indahnya alam. Kuucapkan lagi rasa syukur kepada Ilahi Rabbi yang telah memberikan waktu untukku menikmati indahnya ciptaannya. Kumalu kepada pohon kepada sungai yang selalu taat dan patuh melakukan aktivitasanya. Walaupun hujan menerpanya, walaupun panas dan dingin mengoyak tubuhnya. Semata-mata mereka lakukan karena bukti pengabdian mereka kepada penciptaNya.

Puas sudah aku menikmati indahnya alam, lumayan dapat menghibur hati dan menjadi pengobat rinduku pada ibu dan adikku tercinta. Kulepas mukena yang masih menempel di tubuhku. Padahal tadi mata ini dah mau redup, tapi tidak tahu kenapa malah terbuka lebar lagi setelah melihat warna mutiara komputerku. Pelan-pelan kutekan tombol powernya, hanya beberapa detik layar yang gelap menjadi terang, seterang lampu pencari katak di sawah. Namun alangkah kagetnya diriku setelah memandang layar komputer. Semua layar dipenuhi gambar kuburan, aku kelupaan, padahal saya sendirilah yang memasang sebelumnya, tapi kok juga kaget setelah melihatnya. Mungkin karena suasana malam yang membuatku merasa ngeri dan merasa aneh.

Tiba-tiba mataku meleleh melihat kuburan itu. Aku teringat masa-masa di rumah, saat ayah membawaku ke rumah si mbah melewati rumah-rumah orang yang sudah meninggal itu, mata tak pernah kubuka sebelum meninggalkan tempat-tempat itu. Sifat penakutku tetap menjalar hingga kini. Mau tidak mau kelak aku harus menghuni rumah baru ini. Kubayangkan kelak bagaimanakah nasibku? Lewat depan halaman kuburan saja sudah takut, apalagi menghuni selamanya… tak terbayangkan olehku.

Kuamati lagi rumah abadi itu, kucoba menyapanya. Wahai rumah asliku.... pelan tapi pasti, aku adalah penghunimu kelak, izinkan aku mengenalmu lebih jauh karena usiaku pun sudah banyak terlewati, sedang bahan-bahan untuk membangun bangunanmu belum kusiapkan. Tiba-tiba air mata ini meleleh lagi, kubayangkan saat ditinggal sendiri, dan tubuh tertutupi tanah, hewan-hewan menggerogoti tubuh, sedang diriku tak berdaya apa-apa. Siksaan demi siksaan menghujani tubuh, oh betapa tersiksa diriku, aku merasa tidak adil dengan rumah abadi. Aku pentingkan segalanya untuk pembangunan rumah di dunia:

Demi rumah dunia kurela tinggalkan ayah dan ibu
Demi rumah dunia kurela tinggalkan adikku tercinta
yang mana masih memerlukan didikan dari kakaknya
Demi rumah dunia kurela meningglkan mushola tempatku memadu kasih
dengan Sang Maha Pencipta
Demi rumah dunia kurela kena maki tiap hari
Demi rumah dunia kurela kerja mulai pagi selesai hampir pagi
Demi rumah dunia ku juga rela menahan keinginan
karena harus melengkapi kekurangan peralatan tubuh
Padahal aku menempati rumah dunia hanyalah sementara
Itupun kalau Allah mengizinkannya, jika tidak bukan mustahil aku
tidak dapat menyentuhnya juga. Kebodohanku dimasa lalu kini aku harus merubahnya…

Sambil memejamkan mata, bibirku tak henti-hentinya memohon maaf atas kekeliruanku, karena dulu apa yang ada tak pernah kusyukuri yang tiada sering kurisaukan. “Ttiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati” (al-Imran: 185). Semoga keasyikan dunia tidak memperdayaku lagi, agar inisiatif menambah amal semakin meninggi.

Oh Allah, demi rahmat-Mu yang meliputi segala sesuatu, demi segala nikmat-Mu yang senantiasa mengalir tanpa henti, aku yang fakir ini memohon kekuatan dan taufik dari padaMu, agar hidup dan matiku ini, semata-mata untukMu. KarenaMu. Amin. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar